1000 Warna, 1000 Cerita: Kisah Di Hari Kelabu

Tuesday, January 31, 2012

Kisah Di Hari Kelabu

Kisah Di Hari Kelabu

Hujan deras mengguyur kota Surabaya hari ini. Seluruh daratan di kota hiu dan buaya ini menguarkan aroma debu yang tersiram air hujan. Semua orang nampaknya lebih memilih beristirahat di rumah di hari libur ini karena alasan cuaca yang tidak mendukung. Akibatnya, hampir sebatas pandangku tidak kulihat orang-orang hilir mudik. Hanya ada beberapa warga desa yang sempat kulihat buru-buru mengayuh sepeda sepulang dari berdagang di pasar. Aku duduk termenung melihat kejadian itu di atas amben didepan rumah Adhe, sahabatku. Kurogoh saku celanaku dan mengeluarkan satu bungkus rokok dan mengambil sepuntung rokok di dalamnya. Kunyalakan dengan pemantik dan menghirupnya dalam-dalam. Asap rokok terkepul keluar dari lubang hidungku bercampur dengan udara dingin disekitar. Tak lama, Adhe keluar dari pintu rumah sambil membawa dua gelas teh panas dan beberapa potong bolu kukus buatan Mak Imah. Aroma menggiurkan yang menguar dari bolu itu langsung diproses oleh otakku dan dikirim sebagai sinyal oleh perutku dengan bunyi keroncongan yang lumayan keras.
“hahaha... perutmu itu mau ngalahin bunyi geledek toh, Ram?” sela Adhe sambil duduk bersila disampingku. Nampan itu ditaruhnya di depanku dan langsung kuserbu dengan beringas sampai piringnya licin bahkan remah-remahnya pun bersih.
“maklumlah... kan habis perjalanan jauh! Di kereta tadi aku tidak sempat makan apapun” ucapku dengan tidak jelas karena makanan masih ada di mulutku.
“iya..iyaa.. tapi makannya pelan-pelan sajalah..” kata Adhe sambil terkekeh pelan. Geli juga dia melihat tingkah sahabatnya yang satu ini.
“ohh.. iya.. gimana kerjaan di Malang??” sambungnya. “Alhamdulillah.. lumayan lah.. semuanya tidak sombong dan mau mengajariku..” kataku.
Aku baru saja diterima disalah satu bank swasta di daerah Malang sebagai seorang teller. Pekerjaan yang sesuai dengan mata kuliahku dulu di Universitas Indonesia di Jakarta. Baru sebulan yang lalu aku meraih gelar sarjana dan aku sudah mendapat jabatan yang lumayan bonafit dengan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluargaku.


“oh iya.. gimana kabar tante, Idha dan Panji? Lama tidak jumpa mereka” kata Adhe. Aku mengabaikannya sekarang. Untuk pertanyaan yang satu ini aku cukup sensitif untuk membicarakannya. Dalam hati aku sedikit mengutuki sahabatku yang satu ini. Aku jauh-jauh dari Malang dan menempuh perjalanan yang tidak mengenakkan dengan kereta api namun dia malah mengingatkanku pada kenyataan. Kenyataan bahwa sejauh apapun aku pergi, aku tidak bisa lari dari mereka. Karena darah dan daging yang sama yang kami peroleh dari induk yang sama. Mataku pun menerawang ke depan. Saat sepeda ontel entah yang keberapa kali lewat sambil membawa sisa sayuran yang tidak laku dijual. Aku mengikuti arah perginya namun mataku tidak fokus padanya. Mataku fokus pada kejadian 1 tahun silam yang tiba-tiba terasa baru-baru saja.
........................................
Hari itu pantai Ancol cukup ramai. Sesuai dengan hari yang cerah, semua orang bersuka cita bersama keluarga di tempat wisata ini. Termasuk aku. Ayahku mengajak kami semua ke tempat wisata ini untuk merayakan keberhasilan proposal kerjanya dengan perusahaan asing yang sekarang tengah menemui tahap penandatanganan kontrak. Ibuku pagi-pagi sudah masak enak untuk bekal piknik kami sekeluarga. Dengan mobil yang dikendarai ayah, kami pun melesat membelah jalan raya Jakarta yang tidak begitu padat pagi ini. Sesampainya disana, Panji langsung menggelar tikar di bawah pohon. Idha berteriak kegirangan dan segera berlari di tepi pantai untuk bermain dengan kawan sebayanya.
“ hati-hati, Idha ! jangan main jauh-jauh” teriak Ibu di sela-sela tawa bahagianya.
Masih kuingat dengan jelas kerut-kerut wajahnya yang mulai tampak jelas itu menyiratkan kebahagiaan. Panji dan Ayah sudah duduk selosor di atas tikar sambil sesekali mencomot bekal yang tadi pagi dibuat Ibu. Aku mengalunkan lagu Sepanjang Jalan Kenangan dengan gitar yang kubawa. Lagu lawas yang paling disukai oleh ayah dan ibuku. Segera saja mereka bernyanyi mengikuti irama gitar yang kupetik. Namun tanpa kusadari bahwa hari ini adalah hari terakhir kami sekeluarga berkumpul bersama dalam satu keluarga yang harmonis.
“gimana kerjaan di kantor, Panji?” tanya Ayahku pada kakak sulungku itu.
“baik, Yah. Semuanya baik sama aku.” Kata kakakku dengan senyum kalemnya.
“baguslah kalau begitu. Ayah Cuma mau mengingatkan sama kamu kalau kamu jangan sombong sama bawahan. Jangan buat mereka merasa tidak nyaman dipimpin sama kamu. Bagaimana pun kamu masih baru disana.” Kata Ayahku memberi wejangan pada kakakku yang suatu saat akan memimpin perusahaan utama itu.
Saat sedang bersantai, tiba-tiba telepon genggam Ayah berdering. Ayah kemudian menjauh dari kerumunan dan mengangkat teleponnya. Namun tak lama, aku mendengar seruan Ayah yang sangat keras.
“Apa??!! Tidak.. ini tidak mungkin.. Innalillahi.. ass-taa....” dan Bruk .. Ayah jatuh ke tanah dengan telepon genggam di tangan. Aku berteriak dan segera menghampiri Ayah. Orang-orang berkumpul dan menggotong Ayah ke mobil kami. Ibu sudah menangis sesengukan sambil menggendong Idha yang sudah menangis kencang. Segera saja kami melesat ke rumah sakit umum terdekat. Perasaan tidak enak yang sangat wajar kurasa. Aku takut terjadi apa-apa pada Ayahku. Entah masalah apa yang bisa membuat beliau sampai pingsan. Bukan masalah biasa menurutku.
Sesampainya di Rumah Sakit, suster segera membawa Ayah ke UGD untuk penanganan selanjutnya. Kami sekeluarga menunggu di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Panji sibuk menelepon sanak saudara dan keluarga terdekat untuk mengabarkan kondisi Ayah. Ibu masih berusaha menenangkan Idha yang terus-menerus menangis. Satu jam dua jam berlalu, dokter dengan pakaian praktek keluar dari ruangan tempat Ayah dirawat.
“Keluarga Bapak Budianto?” tanya sang dokter.
“iya. Itu Ayah saya. Apa yang terjadi, dok?” sahutku.
“maaf. Kami sudah berusaha menyelamatkan Bapak Budianto.. Namun Tuhan telah berkehendak lain. Beliau meninggal karena serangan jantung yang..................” ucapan dokter tidak habis kudengan namun bagaikan badai tornado di Padang Sahara.. Keras. Tajam. Merusak.. hanya samar-samar kudengar jeritan rintih putus asa seorang perempuan yang memeluk erat anak perempuannya yang juga menjerit meski entah dia mengerti atau tidak apa yang sedang dialaminya. Dia hanya merasakan hal buruk telah terjadi yang membuat Ibunya begitu nelangsa. Aku pun demikian. Entah perasaan apa yang kurasakan tak bisa lagi kugambarkan. Terlalu menyakitkan bagiku karena mengetahui peristiwa yang tidak dinyana-yana akan terjadi ini. Balok es yang terbakar. Gambaran yang tepat untuk keadaanku saat ini. Es yang tidak pernah merasakan rasanya panas. Meleleh seketika.
Kejadian apa yang membuat tembok kokoh seperti Ayahku hancur lebur hanya karena sebuah deringan telepon? Jawabnya: penipuan. Penipuan yang dilakukan oleh orang yang dianggapnya sahabat. Orang yang paling dia percaya yang telah menghancurkannya dan sekarang berleha-leha dan menginjak tangis kami. Sungguh ironis sekaligus miris untuk kami. Namanya Pak Sudiarjo atau yang biasa kupanggil Om Didi. Atau yang lebih parahnya dipanggil Papa Besar oleh adik kecilku, Idha. Perutnya yang tambun dengan rambut tipis dan kaki-kaki kecil menjadi proporsi yang unik bagiku. Namun yang membuat kami dekat dengan dia yaitu karena Om Didi selalu mengajak kami jalan-jalan kalau Ayah sedang ada urusan di kantor. Dia juga sering membawakan kami oleh-oleh yang banyak kalau dia pulang dari berpergian. Persahabatannya selama 13 tahun dengan Ayah nampaknya tidak menjadi beban baginya untuk berbuat keji kepada kami. Harta dan kekuasaan telah menutupi nuraninya sebagai seorang manusia. Posisi yang diberikan Ayah padanya sebagai direktur perusahaan cabang memulai karirnya sebagai koruptor besar. Beberapa data dipalsukannya agar keuntungan masuk ke rekeningnya. Namun Om Didi belum puas sebelum memiliki semuanya. Dengan membeli saham perusahaan utama, dia mulai membangun kekuatannya. Dan puncaknya pada hari Ayah menerima telepon. Seluruh perusahaan baik utama maupun cabang dinyatakan bangkrut dan seluruh investor telah mengundurkan diri entah bagaimana caranya. Utang-utang perusahaan pun tak terbayarkan. Membuat kami harus pindah dari rumah mewah kami yang menjadi jaminan ke kawasan kumuh yang antah berantah. Panji pun kehilangan pekerjaan karena perusahaan yang pailit. Akhir dari sebuah kebahagiaan. Pembuka gerbang kesengsaraan.
........................................
Aku masih menerawang ke masa itu saat adhe mengagetkanku dengan menepuk pelan bahuku. Aku sedikit terlonjak yang langsung membawaku ke masa sekarang. Di hari hujan.
“kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali seperti habis melihat jurit saja.. ini kan masih siang.. mana ada yang keluyuran.. hahahha” tanya Adhe seraya ingin menghiburku. Aku tahu di mengerti permasalahanku sekarang.
“aku kepikiran sama kata-katamu barusan...” kilahku. Padahal jelas-jelas aku tidak memperhatikan Adhe selama beberapa menit ini.
“yang mana? Soal pacarku atau karierku atau soal Mak Imah? Banyak yang aku ceritakan barusan tapi nampaknya kamu tidak mendengar satu pun. Kamu sibuk sama lamunan kamu itu..”
“entahlah yang mana. Aku sedikit lelah. Aku mau tidur sebentar saja..” kataku dan langsung berselojor di atas amben dan menutup kedua mataku. Sekilas kudengar kata-kata Adhe kalau dia akan ke rumah Nila, pacarnya. Dan dia menitip pesan kalau ada apa-apa minta sama Mak Imah saja. Kuanggukan saja kepalaku sekenanya karena lagi-lagi massa lalu datang dan mengaburkan masa kini.
Sebulan setelah kematian Ayah, Ibu bekerja banting tulang untuk membiayai kami dengan berdagang nasi kuning. Masakan Ibu yang memang enak membuat jualannya cepat dikenal masyarakat. Apalagi sekarang kami tinggal mengontrak di rumah kecil di kawasan terpencil. Secara ekonomi kami sedikit meningkat. Panji juga sudah mulai bangkit dengan menjadi karyawan di perusahaan kecil. Aku juga mendapat beasiswa untuk semester akhirku di jurusan akutansi di Universitas Indonesia. Beberapa bulan lagi, aku akan menjadi seorang sarjana. Idha sudah masuk sekolah di Sekolah Dasar muhammadiyah. Sekolah dengan bayaran termurah di kawasan ini. Sebenarnya hatiku sangat sedih karena ketidakadilan yang didapatkan adikku itu. Aku dan Panji mendapatkan pendidikan yang terbaik di Jakarta sedangkan adikku harus mendapatkan sekolah terpencil yang jauh dari layak menurutku untuknya.
“yang penting kan sekolah, Ram.. masih banyak anak yang kurang mampu yang tidak bisa menyekolahkan anaknya. Syukur-syukur Idha bisa sekolah.. “ kata Ibuku padaku sambil memasak di subuh hari. Mendengar Ibuku berkata demikian ingin rasanya aku cepat-cepat menyelesaikan kuliahku.
Ibuku yang telah renta membuatnya tidak sanggup lagi berjualan. Batuk-batuk sudah menjadi kesehariannya sekarang.
“Ibu itu harusnya periksakan diri ke dokter.. besok aku antar ibu ke puskesmas yah” Kata Panji khawatir.
“tidak usahlah, Ji.. Ibu tidak apa-apa kok... Ibu Cuma kecapekan saja..” sahut Ibu dengan raut menenangkan.
“tidak.. pokoknya besok aku antar Ibu ke puskesmas..”
Dan esok paginya Panji membawa Ibu ke puskesmas terdekat. Diagnosis awal Ibu terkena kanker paru-paru yang sudah lumayan parah. Ternyata beliau telah lama menderita penyakit tersebut tapi tidak pernah dirasakan gejalanya. Dan seminggu setelah pemberitaan itu, Ibu jatuh sakit dan tidak sanggup lagi berjalan. Hidupnya hanya berkisar di kamar. Tekanan yang begitu besar dan dalam membuat kakakku, Panji tidak sanggup lagi membendungnya. Obat-obatan menjadi tujuannya sekarang. Setiap hari dia pulang dalam keadaan mabuk dan disore harinya dia berjudi dengan teman-temannya. Preman pasar menjadi wajah keduanya. Tak lagi kukenali kakakku yng patuh terhadap orang tua, bertanggung jawab dan menyayangi keluarga.
“kamu apa-apaan sih Panji!!!! Malu aku punya kakak sepertimu!! Tidak bisa mengayomi keluarga!!” teriakku suatu hari.
Kemarahanku semakin memuncak sejak dia mulai memukul adikku yang masih bocah itu. Dan setiap aku berkata begitu, dia akan memukulku hanis-habisan dan pergi selama berhari-hari. Lebih baik pikirku. Lebih baik dia tidak pulang agar keluarga ini tenang. Semakin lama Panji semakin jarang pulang. Kadang kau mendapat kabar kalau saudaraku itu sedang berada di Bandung untuk hidup sendiri. Meninggalkanku dengan Ibu yang sakit-sakitan dan adik yang masih kecil.
Pasang surut kehidupanku bersama mereka. Kadang kami tidak makan sama sekali selama sehari. Kadang pula kami makan nasi yang sudah dikeringkan. Hidup kami diandalkan dari santunan warga dan uang penghasilanku mengajar ekonomi. Sebagian besar kubayarkan uang sekolah Idha, sebagian untuk biaya hidup sehari-hari. Ibuku makin lama makin parah saja sakitnya. Muntah darah semakin sering terjadi padanya. Ibu dan adikku menjadi motivasi utamaku untuk segera meraih sarjanaku.
........................................
Hujan tak lagi terdengar. Tergantikan dengan kicauan burung-burung gerja di pohon-pohon sekitar. Aku terbangun dari tidur panjangku yang sangat melelahkan. Kulirik jam di layar telepon genggamku. Astaga! Ternyata aku tidur dari siang kemarin sampai pagi hari berikutnya. Lamanya aku terlelap. Mungkin karena kecapekan dan suhu yang dingin membuat tidurku begitu nyenyak.
“pagi, pangeran tidur.... sudah bangun yah?” kata Adhe terkekeh. Dari gayanya, dia sepertinya baru selesai mandi. Terlihat dari wajahnya yang segar dan handuk yang tersampir di bahunya.
“kenapa tidak kau bangunkan aku kemarin?” kataku nyolot.
“mana tega aku membangunkanmu. Wajahmu begitu damai waktu tidur.. berbeda saat kau bangun.. segala beban dunia seperti ada di pundakmu.. hahahahha”
“sudahlah... aku juga mau mandi.. bilang saja kau jatuh cinta pada wajahku waktu tidur... hahhaha” sahutku sambil berlari ke kamar mandi. Adhe sudah siap melontarkan kata-kata pedasnya untuk menyangkal pernyataanku barusan. Tapi sudah tidak kudengar lagi karena aku sudah jauh di dalam rumah untuk mandi.
........................................
“aku mau balik besok, Adhe” kataku. Aku sudah selesai mandi dan sekarang duduk lagi di atas amben depan rumah sahabatku. Berbeda dengan kemarin, aktivitas sudah berjalan di daerah sekitar sini. Ibu-ibu yang pulang dari pasar, bapak-bapak petani memeriksa tanamannya, dan anak-anak yang bermain di depan rumahnya.
“kenapa cepat sekali? Kan liburan masih panjang? Masih ada kira-kira 3 hari.. kau tidak kangen padaku?” katanya
“aku ingin menjenguk adik dan ibuku di Jakarta, Adhe.selama ini aku cuma mengirim uang saja dan jarang pulang sejak aku bekerja di Malang. Tidak tega aku melihat adikku mengurus ibuku sendiri disana. Apalagi dia masih kecil.” Kataku muram.
“baiklah kalau begitu. Sudah seharusnya kamu menjenguk ibumu disana.”
Esok pagi, aku berpamitan dengan Adhe dan Mak Imah. Kuucapkan terima kasihku kepada merreka yang mau menerima kunjunganku ini. Pukul 8 pagi aku berangkat menggunakan bis menuju stasiun. Perjalanan Surabaya-Jakarta lebih jauh dibandingkan Malang-Surabaya jadi Mak Imah memasakkanku makanan buat bekal di jalan.
“biar ndhak jhajan dhi dhalan, ndhen....” katanya dengan senyum malu-malu dan aksen Jawanya yang kental
“matur muwun, Mak” ucapku terharu.
“ngeh. Ora opo-opo lah.Ojo sungkan ambe Mak.”
Beberapa jam kulalui di dalam kereta express. Pemandangan sawah mulai berkurang seiring mendekatnya kereta ini ke Jakarta. Persawahan mulai digantikan dengan gedung-gedung tinggi nan megah. Sesampainya aku di stasiun, aku melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bis kota untuk sampai ke daerah rumahku.
Rumah itu masih sama. Kecil. Kusam. Kotor. Tapi inilah rumahku selama beberapa bulan ini. Rumah dimana duka dialami bersama. Kumasuki gerbang reyotnya dan kuketuk pintu depannya. Seseorang membukanya. Seorang anak perempuan berusia sekitar 7 tahun. Dia mendongak dan melihat wajahku. Senyum sumringah langsung terpatri di bibirnya.
“kak Rama!!!!” serunya. Dipeluknya aku erat-erat.
Namun ada sosok lain yang berjalan ke arah kami dari dalam rumah. Seorang wanita renta yang terseok-seok jalannya tapi masih kuat terlihat. Ibuku.. dia ternyata sudah mulai berjalan lagi.
“Rama......” wajahnya mengharu biru menatap anak lelakinya. Anaknya sudah menjadi teller bank dan mengiriminya uang setiap bulan. Sekarang anak itu datang untuk menjenguknya. Apalagi hal yang tidak lebih membahagiakannya?
“ibu.. aku datang untuk membawa kalian bersamaku ke Malang..” kataku tegas.
Air mata jatuh di pelupuk mata Ibuku. Terharu karena anaknya tak melupakannya. Tidak membuangnya seperti anaknya yang satunya. Masa depan jelas muncul di matanya. Harapan tumbuh dihatinya. Dia yakin bersama dua malaikatnya dia ssanggup menghadapi hidup sesusah apapun itu. Akupun demikian. Yakin aku bisa menghadapi cobaan apapun dengan dua bidadari di sisiku.
Malam itu kami bertiga tidur di satu ranjang kecil. Kutaruh kepalaku dilengan Ibuku. Kubiarkan beliau mengusap-usap rambutku sayang . Esok paginya kami berkemas seadanya. Kuambil surat pindah sekolah adikku. Kami juga berpamitan pada beberapa tetangga dan mengunjungi pusara ayahku. Aku berjanji padanya bahwa aku akan menjaga dua pelita hidup ini untuknya. Setetes hujan jatuh tepat di kepalaku mengisyaratkan bahwa Ayahku mendengar janjiku dan memberi restu padaku. Sorenya kami berangkat ke Malang bersama dengan kereta. Meninggalkan masa lalu di belakang kami.Mencari hidup baru yang kuyakin bahagia.
FIN

No comments:

Post a Comment

Twitter

Facebook Badge